Senin, 09 Mei 2016

batu city

Sejak abad ke-10, wilayah Batu dan sekitarnya telah dikenal sebagai tempat peristirahatan bagi kalangan keluarga kerajaan karena wilayahnya adalah daerah pegunungan dengan kesejukan udara yang nyaman, juga didukung oleh keindahan pemandangan alam sebagai ciri khas daerah pegunungan.
Pada waktu pemerintahan Raja Sendok (Mpu Sendok), seorang petinggi kerajaan bernama Mpu Supo diperintahkan Raja Sensok untuk membangun tempat peristirahatan keluarga kerajaan di daerah pegunungan yang didekatnya terdapat mata air. Dengan upaya yang keras, guna menemukan tempat peristirahatan seperti yang diinginkan oleh raja, akhirnya Mpu Supo yang konon kabarnya sakti mandraguna memulai membangunn kawasan Songgoriti sebagai tempat peristirahatan kelurga kerajaan serta dibangunnya sebuah candi yang diberi nama Candi Supo.
Sebagaiamana keinginan raja bahwa di tempat peristirahatan dimaksud harus terhadap sumber atau dekat dengan mata air, maka di tempat peristirahatan itupun terdapat sumber mata air yang mangalir dingin seperti semua mata air diwilayah pegunungan.
Mata air dingin tersebut sering digunakan mencari keris-keris bertuah sebagai benda pusaka dari Kerajaan Sendok. Oleh karena sumber mata air yang sering digunakan untuk mencari benda-benda kerajaan yang bertuah dan mempunyai kekuatan supranatural yang dahsyat, akhirnya yang semula sumber mata air yang terasa dingin menjadi sumber mata air panas. Sumber mata air panas itupun sampai saat ini menjadi sumber abadi di kawasan Wisata Songgoriti.
Dari beberapa pemuka masyarakat setempat memang pernah mengisahkan bahwa sebutan Batu berasal dari nama seorang ulama pengikut Pangeran Diponegoro yang bernama Abu Ghonaim atau disebut juga Kyai Gabung Angin yang selanjutnya masyarakat setempat akrab menyebutnya dengan panggilan Mbah Wastu. Dari kebiasaan kultur Jawa yang sering memperpendek atau mempersingkat mengenai sebutan nama seseorang yang dirasa terlalu panjang, juga agar lebih singkat penyebutannya serta lebih cepat lebih memanggil seseorang akhirnya lambat laun sebutan Mbah Wastu dipanggil Mbah Tu menjadi Mbatu atau batu sebutan yang digunakan untuk Kota Dingin di Jawa Timur.
Sedikit menengok ke belakang tentang sejarah Abu Ghonaim sebagai cikal bakal serta orang yang dikenal sebagai pemuka masyarakat yang memulai babat alas dan dipakai sebagai inspirasi dari sebutan wilayah Batu,sebenarnya Abu Ghonaim sendiri adalah berasal dari Jawa Tengah.Abu Ghonaim sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang setia, dengan sengaja meninggalkan daerah asalnya Jawa Tengah dan hijrah di kaki Gunung Panderman ini adalah untuk menghindari pengejaran dan penangkapan dari serdadu Belanda (Kompeni) terhadap semua pengikut-pengikut Pangeran Diponegoro dengan licik dan tipu muslihat berpura-pura mengajak berunding dengan Pangeran Diponegoro yang ternyata bermaksud menangkapnya dan membuang ke Makassar hingga wafatnya.Kejadian ini diperkirakan setelah terjadi perang Diponegoro (1825-1830).
Abu Ghonaim atau Mbah Wastu yang memulai kehidupan barunya bersama masyarakat yang ada sebelumnya serta ikut berbagi rasa,pengetahuan dan ajaran yang diperolehnya semasa menjadi pengikut Pangeran Diponegoro, akhirnya banyak penduduk di daerah sekitarnya berdatangan dan menetap untuk menuntut ilmu serta belajar agama kepada Mbah Wastu.Bermula mereka hidup dalam kelompok di daerah Bumiaji, Sisir, dan Temas.
Sebagaimana layaknya wilayah pegunungan yang subur, Batu dan sekitarnya juga memiliki panorama alam yang indah dan berudara  sejuk.Tentunya hal ini akan menarik minat masyarakat lain untuk mengunjungi dan menikmati sebagai kawasan pegunungan yang mempunyai daya tarik tersendiri. Untuk itulah di awal abad ke-19 Batu berkembang menjadi daerah tujuan wisata, khususnya orang-orang Belanda sehingga akhirnya orang-orang (bangsa) Belanda itupun membangun villa-villa sebagai tempat peristirahatan.
Dengan keindahan dan keelokan Batu yang mempesona itu, bangsa Belanda menyejajarkan wilayah Batu dengan sebuah negara di Eropa yaitu Switzerland dan memberikan predikat sebagai De Klein atau Swiss Kecil di Pulau Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar